Akbar Faizal Uncensored Blog Berita Politik Parlemen & Legislasi Wakil Ketua MPR: Perkawinan Anak Harus Dihapuskan untuk Masa Depan Generasi yang Lebih Baik
Berita Parlemen & Legislasi Politik

Wakil Ketua MPR: Perkawinan Anak Harus Dihapuskan untuk Masa Depan Generasi yang Lebih Baik

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat(MI/SUSANTO)

JAKARTA, AFU.ID – Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan pentingnya upaya berkelanjutan dalam menghapus perkawinan anak guna mendukung lahirnya generasi penerus bangsa yang kompetitif di masa depan.

“Kita patut bersyukur atas tren penurunan angka perkawinan anak saat ini. Namun, yang lebih penting adalah memastikan bahwa perkawinan anak benar-benar dapat dicegah,” ujar Lestari dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), angka perkawinan anak mengalami penurunan dalam periode 2021—2023, yakni dari 10,35 persen pada 2021, menjadi 9,23 persen di 2022, dan turun lagi menjadi 6,92 persen pada 2023.

Lestari menyebutkan bahwa pencapaian ini merupakan hasil kerja sama lintas sektor, mulai dari pemerintah daerah hingga tingkat desa, serta dukungan dari tokoh masyarakat dan agama.

Ia mengapresiasi kemajuan tersebut dan berharap kolaborasi antar pemangku kepentingan semakin diperkuat agar perkawinan anak benar-benar bisa dihapuskan.

“Jika perkawinan anak masih terjadi, maka kekhawatiran terhadap rendahnya kualitas generasi penerus bangsa di masa depan akan semakin besar,” tutur Rerie, sapaan akrab Lestari.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa perkawinan usia dini harus dihapuskan karena meningkatkan risiko kematian bayi. Selain itu, anak yang lahir dari perkawinan usia muda lebih rentan mengalami kekurangan gizi yang dapat berujung pada stunting.

“Kondisi ini menjadi tantangan besar jika perkawinan anak masih berlangsung,” tambahnya.

Oleh karena itu, Rerie mengajak seluruh pihak untuk terus memperkuat kerja sama dalam mencegah perkawinan anak di daerah masing-masing.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, seseorang dikategorikan sebagai anak jika berusia di bawah 18 tahun. Dengan demikian, pernikahan yang terjadi sebelum usia tersebut masuk dalam kategori perkawinan anak.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk putus sekolah. Hal ini dapat menghambat perkembangan karier mereka di masa depan.

Selain itu, anak yang menikah di bawah usia 18 tahun cenderung tidak bekerja di sektor formal dan memiliki pendapatan per jam yang lebih rendah dibandingkan mereka yang menikah setelah berusia 18 tahun atau lebih.

Exit mobile version