FOTO: BADAN KARANTINA INDONESIA
JAKARTA, AFU.ID – Kepala Badan Karantina Indonesia (Barantin) Sahat M. Panggabean menyatakan bahwa konsep preborder yang telah diterapkan selama beberapa tahun sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto dalam menanggapi dampak kebijakan tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat.
Sahat menegaskan kesiapan pihaknya untuk mendukung deregulasi dan penyederhanaan perizinan guna mempermudah layanan dalam menghadapi tantangan ekonomi global, menyusul pengumuman tarif resiprokal oleh Presiden AS, Donald Trump.
“Saat ini, tindakan Karantina melalui preborder yang sudah berjalan sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto. Karantina telah menerapkan konsep preborder dalam beberapa tahun terakhir, sebagai langkah untuk mempermudah layanan sebelum penerapan tarif resiprokal,” ujar Sahat.
Ia menjelaskan bahwa preborder bertujuan untuk menjamin kesehatan komoditas agar bebas dari hama dan penyakit sebelum memasuki Indonesia, yang dibuktikan dengan dokumen persyaratan yang dikirimkan sebelumnya, seperti pemberitahuan awal atau prior notice. Langkah ini mempercepat proses karantina di Indonesia, khususnya untuk komoditas berisiko rendah dan sedang.
Sahat menambahkan, sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto pada 8 April, pemerintah diminta untuk melakukan deregulasi dalam merespons kebijakan tarif AS, termasuk terkait dengan Karantina. Jika prosedur karantina di negara asal sudah dijalankan dengan baik, proses karantina di Indonesia dapat dilakukan dengan cepat.
Karantina Indonesia menerapkan sistem pertahanan hayati dan biosekuriti untuk melindungi sumber daya alam Indonesia. Berdasarkan penjelasan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Sahat menyatakan bahwa peluang ekspor komoditas pertanian Indonesia masih sangat tinggi, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyebutkan bahwa neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia masih surplus sebelum kebijakan tarif AS diberlakukan.
Sahat juga menyebutkan bahwa implementasi preborder telah memberi dampak positif pada Ekosistem Logistik Nasional (NLE), mempercepat arus barang, dan mengurangi biaya logistik, termasuk untuk komoditas pertanian dan perikanan di 53 pelabuhan dan tujuh bandara.
Selain itu, sinergi dengan instansi terkait juga memberikan dampak positif melalui layanan Single Submission Quarantine Customs (SSm QC) impor berbasis digital. Layanan karantina untuk komoditas berisiko rendah dan sedang kini dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 24 jam, dengan SLA (service level agreement) yang terpenuhi dalam 24 jam untuk risiko rendah dan 1-3 hari untuk risiko sedang.
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Barantin, Ichwandi, mengungkapkan bahwa berdasarkan data Best Trust, rata-rata waktu layanan Karantina di 26 unit pelaksana teknis (UPT) pada 2024 mencapai 9,06 jam untuk kategori risiko rendah dan sedang. Waktu tercepat tercatat pada September dengan 5,85 jam, sedangkan waktu tertinggi tercatat pada Maret dengan 12,82 jam.
“Jadi, layanan Karantina sudah memenuhi SLA yang telah ditetapkan, dan optimalisasi skema preborder akan mempercepat proses clearance,” kata Ichwandi.